
Ombudsman meminta pemerintah mempertimbangkan agar pengecer bisa langsung menjadi pangkalan elpiji 3 kilogram (Liquefied Petroleum Gas/LPG), bukan sub-pangkalan guna mempersingkat rantai distribusi.
Dalam pertemuan dengan Pertamina Patra Niaga di Jakarta, Selasa (19/8), anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengungkapkan hasil pengamatan Ombudsman di 12 provinsi, di mana ditemukan berbagai persoalan yang berpotensi menimbulkan malaadministrasi dan menghambat akses masyarakat terhadap LPG bersubsidi 3 kg.
“Uji petik juga menunjukkan pengecer belum siap sepenuhnya menjadi sub-pangkalan LPG bersubsidi 3 kg, baik dari sisi legalitas usaha, modal, maupun pemahaman regulasi. Kondisi ini rawan menimbulkan penyimpangan dan ketidaksesuaian harga dengan Harga Eceran tertinggi (HET),” kata Yeka, seperti dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.
Selain itu, Ombudsman turut menyarankan agar pemerintah mempercepat penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penyasaran Pengguna LPG Bersubsidi 3 Kg, khususnya mengenai detail kriteria rumah tangga dan UMKM, mengingat Perpres yang berlaku saat ini masih menggunakan regulasi lama (Perpres Nomor 104 Tahun 2007).
Kemudian, pemerintah turut diminta mendorong kebijakan LPG bersubsidi 3 kg satu harga secara nasional atau minimal dilakukan pembagian dalam tiga zona wilayah, serta memperbaiki mekanisme ketersediaan pasokan dan distribusi agar lebih merata, juga memastikan pengawasan yang lebih ketat.
“Saran perbaikan ini kami sampaikan untuk mencegah malaadministrasi dan memastikan masyarakat, khususnya rumah tangga dan UMKM sasaran, tetap mendapatkan akses energi bersubsidi secara adil dan terjangkau,” tuturnya.
Hasil pengamatan Ombudsman merupakan evaluasi lapangan yang dilaksanakan melalui kegiatan permintaan keterangan kepada tiga unsur responden, yaitu pangkalan, pengecer/calon sub-pangkalan, dan konsumen (rumah tangga serta UMKM).
Hasilnya, ungkap Yeka, sebanyak 72,67 persen pengecer mengaku tidak mengetahui adanya rencana kebijakan pemerintah terkait peningkatan status pengecer menjadi sub-pangkalan resmi.
Meskipun demikian, disebutkan bahwa mayoritas (61,33 persen) menyatakan bersedia, walaupun masih terbentur keterbatasan modal, legalitas usaha, serta pemahaman tata kelola distribusi LPG bersubsidi 3 kg.
Dari aspek harga, Ombudsman menemukan seluruh pengecer di wilayah uji petik menjual LPG 3 kh di atas HET dengan kisaran Rp30 ribu hingga Rp70 ribu per tabung. Sementara di tingkat pangkalan, 11,27 persen masih menjual di atas HET karena alasan tambahan biaya transportasi maupun keterbatasan pasokan.
Ditambahkan bahwa masalah serupa juga terlihat pada aspek pasokan. Sebanyak 36,62 persen pangkalan dan 36,67 persen pengecer mengaku pernah mengalami kelangkaan LPG 3 kg.
Dari sisi konsumen, ia menyebutkan setengah responden (50,85 persen) menyatakan kesulitan memperoleh LPG terutama pada awal tahun dan menjelang hari besar keagamaan.
Selain itu, Ombudsman juga menyoroti adanya praktik malaadministrasi, seperti dominasi oknum ketua rukun tetangga (RT) dan pihak kelurahan dalam bisnis pangkalan yang mempersulit penerbitan surat keterangan usaha.
Di sisi lain, Ombudsman menilai lemahnya pengawasan turut memperparah persoalan. Sebanyak 96 persen pengecer menyatakan tidak pernah diawasi oleh pemerintah maupun Pertamina, berbeda dengan pangkalan yang lebih rutin mendapat pengawasan.